Sektor ketenagakerjaan masih menjadi salah satu tantangan fundamental dalam pembangunan nasional Indonesia. Selain pemutusan hubungan kerja (PHK) yang meningkat sejak awal tahun ini, sektor ketenagakerjaan juga menghadapi masalah klasik yaitu pengangguran.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran Indonesia pada Februari 2025 menembus 7,28 juta orang atau meningkat 83.000 orang daripada Februari 2024 sebanyak 7,20 juta orang. Untungnya, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2025 berada di level 4,76 persen sedikit menurun dari 4,82 persen setahun sebelumnya.
Lonjakan total pengangguran sebagian disebabkan bertambahnya angkatan kerja baru yaitu lulusan baru, dan pencari kerja baru. Kelompok lulusan sekolah menenang atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) menyumbang porsi terbesar dari pengangguran terbuka di Indonesia.
Selain lulusan SMA dan SMK, lulusan perguruan tinggi memiliki tingkat pengangguran tinggi secara proporsional. Hal itu menunjukkan adanya misaligment antara kualiifikasi dan lapangan kerja-serta persaingan yang cukup ketat di sektor formal. Akibatnya sektor informasi menyerap hampir 50 persen dari total pekerja nasional. Hal itu mencerminkan adanya mismatch antara dunia pendidikan dan kebutuhan riil pasar kerja.
Dalam situasi ini, kita membutuhkan solusi strategis, bukan hanya untuk menciptakan lapangan kerja baru, tetapi juga untuk membuka akses ke sektor kerja yang menjanjikan. Salah satu sektor yang memiliki potensi besar tetapi belum digarap optimal adalah profesi pelaut.
Kebutuhan pekerja terampil khususnya pelaut di Indonesia ternyata masih tinggi, terutama untuk posisi perwira kapal dan awal kapal.
Kementerian perhubungan memproyeksi Indonesia membutuhkan tenaga pelaut mencapai sekitar 8.600 orang per tahun atau 43.806 oorang dalam 5 tahun mendatang. Jumlah itu terdiri atas 18.774 pelaut kelas perwira dan 25.032 pelaut kelas dasar. Tingginya kebutuhan pelaut mengacu pada terus berkembangnya moda transportasi laut di Indonesia.
Menurut laporan BIMCO/ICS Seaferer Workforce Report 2021, dunia membutuhkan tambahan sekitar 89.500 perwira kapal hingga tahun 2026 untuk mendukung industri pelayaran global yang terus berkembang. Indonesia sebagai negara maritim dengan lebih dari 17.000 pulau, memiliki posisi geografis dan demografis yang sangat strategis untuk menjadi penyuplai pelaut profesional ke pasar dunia.
Sayangnya, potensi ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai peluang di sektor pelayaran dan masih terbatasnya kapasitas lembaga pendidikan dan pelatihan pelaut menjadi kendala utama. Padahal, dengan standar pendidikan yang sesuai International Maritime Organization (IMO), profesi pelaut bisa menjadi jawaban konkret atas tingginya angka pengangguran, terutama di kalangan pemuda.
Sampai saat ini, pendidikan dan pelatihan pelaut di Indonesia sebagian besar diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi Kementerian Lembaga (PTKL) dibawah naungan Kementerian Perhubungan melalui Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhuhubungan (BPSDMP).
Saat ini, terdapat 11 Unit Pelaksana Teknis (UPT) pendidikan pelayaran seperti Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta, Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang, dan PIP Makassar serta Politeknik Pelayaran (Poltekpel) Surabaya, Banten, Sorong, Sumatera Barat (Sumbar) dan Minahasa Selatan (Minsel) yang secara konsisten mencetak lulusan pelaut dengan standar Internasional.
Kontribusi PTKL ini nyata. Berdasarkan data BPSDMP, pada tahun 2024 saja lebih dari 12.000 lulusan dari lembaga-lembaga ini telah memperoleh Certificate of Competency (CoC) dan sebagian besar di antaranya langsung terserap di dunia kerja, baik domestik maupun Internasional.
Baca selengkapnya (Bisnis Indonesia):
https://koran.bisnis.com/read/20250613/251/1884610/opini-profesi-pelaut-menjawab-problem-pengangguran
Penulis: Dr. Winarno, S.SiT., M.H